BlackBerry bergetar dan mengeluarkan bunyi. Seorang aktivis mengirim pesan. Isinya sebuah salinan berita di internet. Topiknya tentang bentrokan antara anggota Kostrad dan Brimob di Gorontalo.
Tak lupa, ia membubuhkan komentarnya yang ditaruh di bawah berita. “Kita saksinya pertandingan ini. Kalau Brimob sama Kostrad aku memilih ’Elkostrad’,” katanya sambil tertawa. Ia adalah Haris Rusli Moti, Ketua Petisi 28. Ia melihat peristiwa itu seperti pertandingan “maut” antara kesebelasan Real Madrid dan El Barca (Barcelona).
Bentrokan di Gorontalo ini dipicu pelemparan batu dan botol kepada anggota Brigade Mobil yang sedang berpatroli. Sejumlah anggota Brimob mengalami luka-luka dan dibawa ke RS. Tidak terima, mereka kembali ke lokasi pelemparan di sekitar Kompleks Kantor Pemilihan Umum Kabupaten Gorontalo. Seorang anggota TNI, Prada Firman, tewas.
Setelah Reformasi, perseteruan antara TNI dan Polri sering terjadi. Peristiwa paling fenomenal terjadi pada 2001. Bentrokan antara anggota Polresta Madiun dengan Batalion 501 diawali masalah sepele, yaitu berselisih di antrean SPBU. Bentrokan ini membuat situasi Madiun, Jawa Timur mencekam. Dua warga sipil ikut jadi korban. Kantor Mapolresta Madiun sempat dua kali diserang anggota TNI. Baku tembak tak terhindarkan.
Ada juga bentrok di Ternate, Oktober 2009, yang dipicu masalah penjagaan di sebuah pelabuhan Bentrokan ini bermula dari kesalahpahaman antara anggota TNI-Polri yang ditugaskan mengamankan kapal Lambelu ketika mendarat di Pelabuhan Ternate, Maluku Utara.
Sejumlah anggota bintara magang Polri tiba-tiba diserang anggota TNI yang berpakaian preman. Akibatnya, tiga anggota bintara terluka terkena tusukan sangkur. Turut pula menjadi korban seorang warga sipil bernama Mahendra Rustam. Akibat insiden ini, Kota Ternate mendadak menjadi tegang. Sempat terjadi beberapa kali letusan senjata organik.
Peristiwa bentrok antara anggota TNI versus Polri itu bukan kali itu saja terjadi. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sejak 2005 hingga kini, setidaknya terjadi 27 peristiwa bentrokan terbuka antara anggota dua korps tersebut di berbagai daerah.
Dari seluruh peristiwa tersebut, tercatat tujuh anggota polisi tewas. Sementara itu, ada empat yang tewas dari TNI. Tidak cuma itu, bentrokan demi bentrokan telah melukai 32 personel polisi dan 15 orang tentara.
Kesejahteraan
Anggota Komisi III DPR Achmad Baskara mengatakan, bentrokan yang terjadi akhir-akhir ini dipicu faktor kesejahteraan yang timpang antara prajurit TNI dan Polri.
"Pemerintah jangan menutup mata dan harus segera mencari solusi atas gap psikologis antara TNI dan Polri saat ini. Satire yang sering kita dengar dalam masyarakat kita bahwa sekarang ini, ’TNI penuh dengan tantangan dan Polri penuh dengan tentengan’ memang keadaan yang nyata di lapangan," katanya, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (6/5).
Kebijakan negara memisahkan Polri dari TNI yang dulu bernama ABRI, serta menyerahkan sepenuhnya kewenangan keamanan dalam negeri kepada Polri, telah menimbulkan kecemburuan psikologis TNI. Hal itu masih ditambah lagi adanya aturan larangan berbisnis bagi institusi TNI yang semakin menambahkan kecemburuan ekonomi, karena telah menutup peluang akses ekonomi petinggi-petinggi dan oknum TNI lainnya.
Anggota Polri, meskipun tidak seluruhnya, lebih sejahtera tingkat ekonominya ketimbang prajurit TNI. Selain itu, kata dia, kekuasaan Polri juga lebih besar dan nyata ketimbang TNI yang hanya akan berfungsi jika terjadi perang.
Tak heran, terlihat adanya indikasi bahwa TNI ingin kembali mendapatkan kewenangan di luar fungsi pertahanan negara, yaitu keamanan dalam negeri, seperti yang dilakukan lewat RUU Keamanan Nasional.
"Faktor-faktor laten seperti itulah yang menurut saya membuat konflik antara oknum-oknum TNI dan Polri mudah tersulut, sekalipun karena masalah sepele," ujarnya. Oleh karena itu, pemerintah harus berani meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI secara maksimal sehingga setara dengan anggota Polri. Remunerasi dan fasilitas hidup yang baik adalah jawaban atas masalah itu.
Selama ini, kesejahteraan hanya dinikmati petinggi-petinggi TNI, sedangkan kehidupan prajurit masih belum sejahtera. Dengan demikian, tanpa adanya peningkatan kesejahteraan prajurit TNI, sulit berharap tidak akan ada lagi bentrok antara TNI-Polri.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Susaningtyas Nefo Kertopati mengatakan, kecemburuan ekonomi hanya salah satu variabel yang menyebabkan masih terjadinya bentrokan antara prajurit TNI dan anggota Polri. "Kecemburuan hanya salah satu variabel bentrokan. Pembinaan religi dan sumber daya manusia sangat penting juga," ujarnya.
Meski demikian, Susaningtyas mengakui persoalan kesejahteraan yang timpang menjadi salah satu faktor yang sering kali menyebabkan bentrokan antara prajurit TNI dan anggota Polri, di luar faktor-faktor lainnya. "Berbagai hal selain kesejahteraan pun harus dibenahi. Jangan lalu salah satu merasa termarginalkan," ujarnya.
Peningkatan kesejahteraan belum tentu dapat menjamin bentrok antara prajurit TNI dan anggota Polri tidak akan terjadi lagi. Ini karena, kata dia, masih banyak variabel pendukung lainnya yang bisa mengatasi persoalan di antara kedua lembaga itu, di antaranya dukungan masyarakat dalam melihat aspek hukum TNI dan Polri. (Ruhut Ambarita/Tutut Herlina)
(Sinar Harapan)
Kekerasan dengan Senjata Api
Editorial SH | Senin, 07 Mei 2012 - 15:49:14 WIB
(dok/ist)Kekerasan dengan senjata api makin marak di Indonesia.
Kekerasan dengan menggunakan senjata api di masyarakat akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Negeri ini seperti tidak memiliki aturan, sehingga orang bisa melakukan apa saja.
Ulah koboi jalanan di Palmerah, Jakarta yang menghebohkan belum lama ini, ancaman seorang pengusaha dengan senajata terhadap penjaga restoran di Jakarta, kemudian penembakan di Bandung misalnya, menunjukkan adanya kemerosotan persoalan keamanan di negeri ini.
Mereka yang memiliki senjata api begitu mudah menakut-nakuti masyarakat, mengumbar tembakan, dan menghabisi nyawa orang lain seperti halnya di Bandung, akhir pekan kemarin. Apa yang terjadi di Jakarta dan di Bandung benar-benar menakutkan masyarakat, karena begitu mudah pihak tertentu mendapatkan senjata api dan menggunakannya sewenang-wenang.
Di Jakarta, kita menyaksikan bagaimana seorang oknum aparat TNI menakut-nakuti masyarakat dengan senjata api, ketika mobil dinasnya mau dilalui seorang pengendara sepeda motor dengan cara kurang sopan. Tidak terima dengan perilaku pengemudi sepeda motor tersebut, oknum perwira TNI berpangkat kapten tersebut mengeluarkan senjata api untuk menakut-nakuti sekaligus memukul pengemudi sepeda motor dengan senjata api.
Kemudian di Bandung seorang pengusaha di bidang jasa keamanan meregang nyawa akibat ditembak orang tidak dikenal ketika sedang mengemudi di jalan. Tentu saja ada persoalan yang melatarbelakangi penembakan tersebut.
Namun, kenapa begitu gampang orang mendapatkan senjata dan mengumbar peluru? Dari mana orang tersebut memperoleh senjata? Kemudahan dalam kepemilikan senjata api tersebut menjadi faktor pendukung aksi kekerasan yang terus meningkat.
Lalu, jauh hari sebelumnya juga terjadi penembakan terhadap sejumlah warga di beberapa daerah seperti di Mesuji, Lampung, Papua, Bima Nusa Tenggara Barat, dan daerah lainnya. Semua itu tidak lepas dari kemudahan mendapatkan senjata api. Tanpa itu rasanya tidak mungkin peristiwa kekerasan di masyarakat tidak separah sekarang.
Khusus di wilayah Papua, kasus kekerasan di masyarakat hampir terjadi sepanjang tahun. Terkait itu pula, sejumlah tokoh di Papua akhir pekan kemarin menggelar konferensi pers di Jakarta, yang intinya meminta dihentikannya kekerasan terhadap warga di Papua. Sasaran penembakan di Papua memang bukan hanya warga, tetapi juga aparat keamanan. Kasus itu membuat masyarakat di Papua merasa terancam dan frustrasi.
Meski situasi di atas bukan menjadi gambaran umum di Indonesia, ini harus menjadi perhatian serius dari semua pihak, terutama aparat kepolisian yang mengeluarkan izin senjata kepada masyarakat. Peristiwa terakhir ini harus dijadikan bahan evaluasi bagi aparat kepolisian maupun TNI mengenai hak memegang senjata api.
Maraknya peredaran senjata api tidak lepas dari kedua institusi tersebut. Siapa yang berhak dan memang memenuhi persyaratan untuk memegang senjata api tersebut harus benar-benar dikendalikan. Jadi, harus ketat dan selektif serta didukung dengan pengawasan yang superketat.
Faktor keamanan itu penting bagi sebuah negara. Dengan berbagai kejadian tersebut menunjukkan bahwa faktor keamanan di negeri ini memang menurun. Pertanyaannya sekarang, faktor apakah yang mendorong kekerasan dengan penggunaaan senjata api akhir-akhir ini? Menurut pengamatan kita, maraknya penggunakan senjata api dalam berbagai aksi kekerasan akhir-akhir ini patut diduga ada korelasinya dengan aturan kepemilikan senjata api yang dilanggar atau diperlonggar.
Kita melihat ada aturan tidak dipatuhi institusi atau oknum aparat yang berwenang. Kita semua tahu bahwa regulasi kepemilikan senjata sudah ada. Peraturan itu sesungguhnya sudah memadai kalau dijalankan dengan baik dan benar. Persoalannya, pengawasan yang ketat serta penegakan hukum bagi yang melanggar tidak ada.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak senjata api yang disewakan oknum aparat kepada orang-orang tertentu. Peraturannya bisa dikatakan sudah jelas, namun penegakannya adalah hal lain. Negara sangat kelihatan amburadul dalam hal penegakan aturan. Jadi, inti persoalannya adalah penegakan hukum. Selama negara lemah dalam menegakkan hukum, situasi ini akan semakin kacau.
Karenanya, apa yang dilakukan oknum TNI di Palmerah yang menggunakan senjata api untuk menakut-nakuti warga harus dihukum berat, bahkan bila perlu dipecat, sehingga menimbulkan efek jera. Kebijakan serupa juga harus dilakukan bagi oknum aparat lainnya, baik kepolisian maupun TNI, yang terbukti menggunakan senjata api secara sewenang-wenang, apalagi menyewakan kepada pihak lain untuk tujuan apa pun.
Mereka yang terbukti melanggar tidak boleh dilindungi institusi, tetapi harus dihukum dan diadili di pengadilan umum. Dengan demikian, siapa pun yang mau melakukan pelanggaran akan berpikir dua kali.
(Sinar Harapan)
Tak lupa, ia membubuhkan komentarnya yang ditaruh di bawah berita. “Kita saksinya pertandingan ini. Kalau Brimob sama Kostrad aku memilih ’Elkostrad’,” katanya sambil tertawa. Ia adalah Haris Rusli Moti, Ketua Petisi 28. Ia melihat peristiwa itu seperti pertandingan “maut” antara kesebelasan Real Madrid dan El Barca (Barcelona).
Bentrokan di Gorontalo ini dipicu pelemparan batu dan botol kepada anggota Brigade Mobil yang sedang berpatroli. Sejumlah anggota Brimob mengalami luka-luka dan dibawa ke RS. Tidak terima, mereka kembali ke lokasi pelemparan di sekitar Kompleks Kantor Pemilihan Umum Kabupaten Gorontalo. Seorang anggota TNI, Prada Firman, tewas.
Setelah Reformasi, perseteruan antara TNI dan Polri sering terjadi. Peristiwa paling fenomenal terjadi pada 2001. Bentrokan antara anggota Polresta Madiun dengan Batalion 501 diawali masalah sepele, yaitu berselisih di antrean SPBU. Bentrokan ini membuat situasi Madiun, Jawa Timur mencekam. Dua warga sipil ikut jadi korban. Kantor Mapolresta Madiun sempat dua kali diserang anggota TNI. Baku tembak tak terhindarkan.
Ada juga bentrok di Ternate, Oktober 2009, yang dipicu masalah penjagaan di sebuah pelabuhan Bentrokan ini bermula dari kesalahpahaman antara anggota TNI-Polri yang ditugaskan mengamankan kapal Lambelu ketika mendarat di Pelabuhan Ternate, Maluku Utara.
Sejumlah anggota bintara magang Polri tiba-tiba diserang anggota TNI yang berpakaian preman. Akibatnya, tiga anggota bintara terluka terkena tusukan sangkur. Turut pula menjadi korban seorang warga sipil bernama Mahendra Rustam. Akibat insiden ini, Kota Ternate mendadak menjadi tegang. Sempat terjadi beberapa kali letusan senjata organik.
Peristiwa bentrok antara anggota TNI versus Polri itu bukan kali itu saja terjadi. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sejak 2005 hingga kini, setidaknya terjadi 27 peristiwa bentrokan terbuka antara anggota dua korps tersebut di berbagai daerah.
Dari seluruh peristiwa tersebut, tercatat tujuh anggota polisi tewas. Sementara itu, ada empat yang tewas dari TNI. Tidak cuma itu, bentrokan demi bentrokan telah melukai 32 personel polisi dan 15 orang tentara.
Kesejahteraan
Anggota Komisi III DPR Achmad Baskara mengatakan, bentrokan yang terjadi akhir-akhir ini dipicu faktor kesejahteraan yang timpang antara prajurit TNI dan Polri.
"Pemerintah jangan menutup mata dan harus segera mencari solusi atas gap psikologis antara TNI dan Polri saat ini. Satire yang sering kita dengar dalam masyarakat kita bahwa sekarang ini, ’TNI penuh dengan tantangan dan Polri penuh dengan tentengan’ memang keadaan yang nyata di lapangan," katanya, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (6/5).
Kebijakan negara memisahkan Polri dari TNI yang dulu bernama ABRI, serta menyerahkan sepenuhnya kewenangan keamanan dalam negeri kepada Polri, telah menimbulkan kecemburuan psikologis TNI. Hal itu masih ditambah lagi adanya aturan larangan berbisnis bagi institusi TNI yang semakin menambahkan kecemburuan ekonomi, karena telah menutup peluang akses ekonomi petinggi-petinggi dan oknum TNI lainnya.
Anggota Polri, meskipun tidak seluruhnya, lebih sejahtera tingkat ekonominya ketimbang prajurit TNI. Selain itu, kata dia, kekuasaan Polri juga lebih besar dan nyata ketimbang TNI yang hanya akan berfungsi jika terjadi perang.
Tak heran, terlihat adanya indikasi bahwa TNI ingin kembali mendapatkan kewenangan di luar fungsi pertahanan negara, yaitu keamanan dalam negeri, seperti yang dilakukan lewat RUU Keamanan Nasional.
"Faktor-faktor laten seperti itulah yang menurut saya membuat konflik antara oknum-oknum TNI dan Polri mudah tersulut, sekalipun karena masalah sepele," ujarnya. Oleh karena itu, pemerintah harus berani meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI secara maksimal sehingga setara dengan anggota Polri. Remunerasi dan fasilitas hidup yang baik adalah jawaban atas masalah itu.
Selama ini, kesejahteraan hanya dinikmati petinggi-petinggi TNI, sedangkan kehidupan prajurit masih belum sejahtera. Dengan demikian, tanpa adanya peningkatan kesejahteraan prajurit TNI, sulit berharap tidak akan ada lagi bentrok antara TNI-Polri.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Susaningtyas Nefo Kertopati mengatakan, kecemburuan ekonomi hanya salah satu variabel yang menyebabkan masih terjadinya bentrokan antara prajurit TNI dan anggota Polri. "Kecemburuan hanya salah satu variabel bentrokan. Pembinaan religi dan sumber daya manusia sangat penting juga," ujarnya.
Meski demikian, Susaningtyas mengakui persoalan kesejahteraan yang timpang menjadi salah satu faktor yang sering kali menyebabkan bentrokan antara prajurit TNI dan anggota Polri, di luar faktor-faktor lainnya. "Berbagai hal selain kesejahteraan pun harus dibenahi. Jangan lalu salah satu merasa termarginalkan," ujarnya.
Peningkatan kesejahteraan belum tentu dapat menjamin bentrok antara prajurit TNI dan anggota Polri tidak akan terjadi lagi. Ini karena, kata dia, masih banyak variabel pendukung lainnya yang bisa mengatasi persoalan di antara kedua lembaga itu, di antaranya dukungan masyarakat dalam melihat aspek hukum TNI dan Polri. (Ruhut Ambarita/Tutut Herlina)
(Sinar Harapan)
Kekerasan dengan Senjata Api
Editorial SH | Senin, 07 Mei 2012 - 15:49:14 WIB
(dok/ist)Kekerasan dengan senjata api makin marak di Indonesia.
Kekerasan dengan menggunakan senjata api di masyarakat akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Negeri ini seperti tidak memiliki aturan, sehingga orang bisa melakukan apa saja.
Ulah koboi jalanan di Palmerah, Jakarta yang menghebohkan belum lama ini, ancaman seorang pengusaha dengan senajata terhadap penjaga restoran di Jakarta, kemudian penembakan di Bandung misalnya, menunjukkan adanya kemerosotan persoalan keamanan di negeri ini.
Mereka yang memiliki senjata api begitu mudah menakut-nakuti masyarakat, mengumbar tembakan, dan menghabisi nyawa orang lain seperti halnya di Bandung, akhir pekan kemarin. Apa yang terjadi di Jakarta dan di Bandung benar-benar menakutkan masyarakat, karena begitu mudah pihak tertentu mendapatkan senjata api dan menggunakannya sewenang-wenang.
Di Jakarta, kita menyaksikan bagaimana seorang oknum aparat TNI menakut-nakuti masyarakat dengan senjata api, ketika mobil dinasnya mau dilalui seorang pengendara sepeda motor dengan cara kurang sopan. Tidak terima dengan perilaku pengemudi sepeda motor tersebut, oknum perwira TNI berpangkat kapten tersebut mengeluarkan senjata api untuk menakut-nakuti sekaligus memukul pengemudi sepeda motor dengan senjata api.
Kemudian di Bandung seorang pengusaha di bidang jasa keamanan meregang nyawa akibat ditembak orang tidak dikenal ketika sedang mengemudi di jalan. Tentu saja ada persoalan yang melatarbelakangi penembakan tersebut.
Namun, kenapa begitu gampang orang mendapatkan senjata dan mengumbar peluru? Dari mana orang tersebut memperoleh senjata? Kemudahan dalam kepemilikan senjata api tersebut menjadi faktor pendukung aksi kekerasan yang terus meningkat.
Lalu, jauh hari sebelumnya juga terjadi penembakan terhadap sejumlah warga di beberapa daerah seperti di Mesuji, Lampung, Papua, Bima Nusa Tenggara Barat, dan daerah lainnya. Semua itu tidak lepas dari kemudahan mendapatkan senjata api. Tanpa itu rasanya tidak mungkin peristiwa kekerasan di masyarakat tidak separah sekarang.
Khusus di wilayah Papua, kasus kekerasan di masyarakat hampir terjadi sepanjang tahun. Terkait itu pula, sejumlah tokoh di Papua akhir pekan kemarin menggelar konferensi pers di Jakarta, yang intinya meminta dihentikannya kekerasan terhadap warga di Papua. Sasaran penembakan di Papua memang bukan hanya warga, tetapi juga aparat keamanan. Kasus itu membuat masyarakat di Papua merasa terancam dan frustrasi.
Meski situasi di atas bukan menjadi gambaran umum di Indonesia, ini harus menjadi perhatian serius dari semua pihak, terutama aparat kepolisian yang mengeluarkan izin senjata kepada masyarakat. Peristiwa terakhir ini harus dijadikan bahan evaluasi bagi aparat kepolisian maupun TNI mengenai hak memegang senjata api.
Maraknya peredaran senjata api tidak lepas dari kedua institusi tersebut. Siapa yang berhak dan memang memenuhi persyaratan untuk memegang senjata api tersebut harus benar-benar dikendalikan. Jadi, harus ketat dan selektif serta didukung dengan pengawasan yang superketat.
Faktor keamanan itu penting bagi sebuah negara. Dengan berbagai kejadian tersebut menunjukkan bahwa faktor keamanan di negeri ini memang menurun. Pertanyaannya sekarang, faktor apakah yang mendorong kekerasan dengan penggunaaan senjata api akhir-akhir ini? Menurut pengamatan kita, maraknya penggunakan senjata api dalam berbagai aksi kekerasan akhir-akhir ini patut diduga ada korelasinya dengan aturan kepemilikan senjata api yang dilanggar atau diperlonggar.
Kita melihat ada aturan tidak dipatuhi institusi atau oknum aparat yang berwenang. Kita semua tahu bahwa regulasi kepemilikan senjata sudah ada. Peraturan itu sesungguhnya sudah memadai kalau dijalankan dengan baik dan benar. Persoalannya, pengawasan yang ketat serta penegakan hukum bagi yang melanggar tidak ada.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak senjata api yang disewakan oknum aparat kepada orang-orang tertentu. Peraturannya bisa dikatakan sudah jelas, namun penegakannya adalah hal lain. Negara sangat kelihatan amburadul dalam hal penegakan aturan. Jadi, inti persoalannya adalah penegakan hukum. Selama negara lemah dalam menegakkan hukum, situasi ini akan semakin kacau.
Karenanya, apa yang dilakukan oknum TNI di Palmerah yang menggunakan senjata api untuk menakut-nakuti warga harus dihukum berat, bahkan bila perlu dipecat, sehingga menimbulkan efek jera. Kebijakan serupa juga harus dilakukan bagi oknum aparat lainnya, baik kepolisian maupun TNI, yang terbukti menggunakan senjata api secara sewenang-wenang, apalagi menyewakan kepada pihak lain untuk tujuan apa pun.
Mereka yang terbukti melanggar tidak boleh dilindungi institusi, tetapi harus dihukum dan diadili di pengadilan umum. Dengan demikian, siapa pun yang mau melakukan pelanggaran akan berpikir dua kali.
(Sinar Harapan)