Airlangga Pribadi, Kandidat PhD Asia Research Centre Murdoch
University, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
MELALUI laman media sosial Facebook, saya mendengarkan berita
menyedihkan dari tanah air tentang terpasungnya kembali kemerdekaan
berekspresi di ruang publik intelektual kita. Tindakan a la fasisme ini
diperagakan kembali oleh segerombolan massa berjubah, baik yang
mengatasnamakan Laskar Umat Islam Solo (LUIS) maupun Front Pembela
Islam (FPI).
Di Jakarta, FPI yang dipimpin Rizieq Shihab, berhasil memaksakan
pendapatnya dan mendorong polisi untuk membubarkan sebuah diskusi buku
bersama intelektual-cum aktivis perempuan Muslim asal Kanada, Irshad
Manji. Manji, yang bukunya sedang didiskusikan di Komunitas Salihara
itu, memang sosok yang kontroversial, terutama berkaitan dengan posisi
pemikirannya atas homoseksualitas di dalam Islam, pentingnya
liberalisme pemikiran bagi komunitas Muslim, dan dukungan Manji atas
keutamaan peradaban Barat terhadap peradaban Islam.
Sebenarnya, kalau kita menyadari pentingnya suara-suara alternatif
dalam dinamika ruang publik Islam di tanah air maupun dunia Islam,
kehadiran pandangan seperti ini justru menguntungkan. Itu akan membuka
ruang bagi kita untuk mempertanyakan hal-hal yang telah dianggap
sebagai keniscayaan dalam gerak langkah peradaban Islam. Terkait dengan
hal ini, saya bersepakat dengan refleksi sastrawan Katholik Arab asal
Lebanon Amin Maalouf, dalam kumpulan esainya In The Name of Identity
((1998). Di sana Maalouf mengutarakan, secara sosial sudah saatnya
kita tidak hanya melihat kehidupan beragama dalam ruang sosial
semata-mata dalam konteks bagaimana agama mempengaruhi kehidupan
manusia, namun sebaliknya, bagaimana dialektika kehidupan sosial di
bumi manusia pada akhirnya ikut mempengaruhi gerakan dinamik agama dan
peradaban yang diinspirasikan oleh nilai-nilai agama itu sendiri. Dari
basis pijakan inilah, menurut hemat saya, kekuatan sebuah peradaban
yang di
dalamnya nilai-nilai agama memberi sumbangan penting diukur, bukan dari
seberapa kuat ia mengisolasi dan menolak pengaruh budaya atau
gagasan-gagasan lain di luar dirinya. Daya hidup sebuah peradaban besar
menjadi matang dan dewasa dengan memberi ruang yang luas, bahkan bagi
suara-suara di luar arus utama, untuk tetap hidup dan memberi
kontribusi bagi gerak vitalitas peradaban itu sendiri.
Demikian pula dengan peradaban Islam. Islam sebagai agama akan mandek
dan berhenti memberi kontribusi bagi dinamika peradaban manusia, ketika
ummatnya berpretensi menjadi pembela Islam dan pembela Tuhan dengan
membubarkan, melarang, membakar buku, dan mengejar-ngejar mereka yang
berpikiran bebas atau berpandangan berbeda dengan arus utama pemikiran
Islam. Sejarah Islam memberikan pelajaran bagi kita semua, seperti
diuraikan dengan brilyan oleh Sosiolog Spanyol Armando Salvatore dalam
The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism and Islam ((2007).
Salvatore mengatakan, ketika ruang publik begitu terbuka, dan kalangan
ilmuwan diberi kesempatan yang amat luas untuk mengembangkan ilmu dan
filsafat di masa Kekhalifahan Islam Andalusia, khasanah intelektual
Islam menjadi tulang punggung dan memberikan sumbangan yang sangat
menentukan bagi hadirnya masa pencerahan, era Aufklarung, dan terbitnya
fajar peradaban modern. Demikian pula dengan warisan
peradaban Islam pada dinasti Fathimiyah Syiah di Mesir, yang
menyumbangkan peradaban akademik dunia dengan universitas Al-Azhar dan
perpustakaan di Alexandria.
Saat ini dengan perdebatan, pena, dan menggerakkan tuts di laptop, kaum
Muslim membela demokrasi dan memberikan kontribusi penting bagi
peradabannya, bukan dengan pentungan, pedang dan golok untuk melawan
pikiran dan kebebasan. Itulah mengapa setiap tindakan fasis, kekerasan,
dan pembelengguan terhadap kemerdekaan berfikir harus kita lawan
sehebat-hebatnya dan sekuat-kuatnya.
Namun demikian, ketika secara panjang lebar saya membela kebebasan
dalam ruang publik dan tentunya membela hak dari Irshad Manji untuk
berbicara dalam ruang publik, tidak berarti saya membela dan mendukung
suara yang ditampilkannya tentang peradaban Islam dalam hubungannya
dengan Imperium. Tulisan ini bukanlah puja-puji dan dukungan terhadap
Manji, namun sebaliknya, saya akan memberikan tanggapan terhadap
kenaifan intelektual Manji dalam melihat komunikasi interkultural antar
peradaban. Ketika kita memahami bahwa bukan hanya agama yang memberi
kontribusi terhadap peradaban ummatnya, maka dalam konteks peradaban
Islam, kita tidak bisa membaca Islam hanya dari Islam itu sendiri,
maupun menggunakan pendekatan kultural yang terisoloasi dengan analisis
strukturalis, relasi kuasa dan ketegangan sosial yang turut
membentuknya.
Cheerleaders Imperium
Seperti diutarakan mendiang Fred Halliday dalam Nation and Religion in
the Middle East ((2000), ketika menjelaskan Timur Tengah dengan
segenap dinamikanya, pendekatan kultural bukanlah satu-satunya yang
mendeterminasi analisis untuk melihat Timur-Tengah. Pendekatan budaya
harus diletakkan dalam relasinya dengan konteks ketegangan relasi kuasa
di internal dan eksternal Timur Tengah, pertarungan kekuatan sosial dan
relasinya dengan tarikan pertarungan kekuatan sosial dominan dan
sublatern di tingkat global.
Pada hubungan-hubungan interaktif antara kesadaran kultural, ketegangan
sosial serta kontestasi kekuasaan di level global dan domestik, kita
dapat membongkar kenaifan berpikir Irshad Manji dan posisi politik yang
ia ambil dalam arus besar pergerakan imperium dunia. Sebagai seorang
yang lahir di Afrika Timur pada saat kepemimpinan diktator Idi Amin di
Uganda, Manji dan keluarganya berhasil keluar dan besar di Kanada,
dengan membawa trauma dan rasa berterima kasih yang begitu mendalam
terhadap kebebasan di dunia Barat yang membesarkan dirinya. Dalam karya
The Trouble With Islam Today (2003), misalnya, ia mengritik tradisi
yang berkembang dalam kebudayaan Islam dengan menempatkan posisinya
sebagai penganut Islam Refusenik. Kata-kata refusenik sendiri, menurut
Irhsad Manji, diambil dari sekumpulan karya kalangan terdidik Yahudi
yang bersikap kritis dan menolak pandangan-pandangan baku dan tradisi
lama dalam komunitas relijius Yahudi. Bagi Manji, sudah
saatnya ummat Islam melakukan reformasi intelektual dan melakukan kritik internal terhadap peradaban mereka.
Namun demikian, apakah Manji benar-benar menjadi penganut Islam
refusenik dan memahami bagaimana langkah dan pikiran kaum Yahudi
refusenik dalam membongkar kesadaran komunitas mereka?
Menurut Justin Podur (2003) dalam majalah Znet, ketika mereview karya
Manji, Manji ternyata tidak memahami bahwa adalah kaum Yahudi
refusenik, yang pada era perang Arab-Israel, menjadi kaum yang menyeru
kepada pemerintah Zionis untuk menarik tentaranya dari tanah
negara-negara Arab yang diinvasi pada tahun 1967. Tidak itu saja,
mereka juga menolak ikut serta dalam wajib militer (wamil) untuk
menyerang warga Arab di tanah pendudukan atas nama nilai-nilai
kemanusiaan. Mereka dengan teguh, sampai dipenjara, memperjuangkan
pikiran dan sikap politik mereka. Pada saat ini, kaum Yahudi refusenik
telah bertransformasi dan di kalangan intelektual Yahudi memunculkan
mazhab sejarah baru (new historian jewish) seperti Thomas Baylis,
sarjana Yahudi lulusan Yeshima University, yang pada 2009 menulis The
Dark Side of Zionism: Israel’s Quest for Security through Dominance. Di
buku ini, Baylish memberikan pengakuan getir, bahwa sebagai seorang
Yahudi adalah kenyataan
pahit untuk menuliskan betapa eksistensi dan keberadaan negara Israel
lahir dari penindasan, eksploitasi, dan penghancuran atas bangsa
lainnya.
Setelah membaca sekilas tentang identitas sejarah kaum Yahudi refusenik, mari kita melihat posisi Irshad Manji.
Dalam karyanya The Trouble With Islam, Manji menyerukan suara reformasi
Islam-nya dan surat terbuka kepada ummat Islam dan non-muslim. Ia
memulainya dengan memberikan pertanyaan retoris, ‘mengapa kita harus
selalu berhenti pada diskusi tentang Israel dan Palestina, mengapa
secara keras kepala kita menyerukan semangat Anti-Semit, siapakah
imperialis tulen Arab atau Amerika, mengapa kita ummat Islam selalu
menempatkan kaum perempuan sebagai warga kelas dua yang memiliki
setengah kesadaran intelektual sebagai manusia?’ Dari pembacaan atas
retorika Manji kita dapat menganalisis bahwa reformasi Islam Manji, ia
tempatkan pada relasi oposisi biner Islam melawan Barat dan Amerika
melawan Islam. Bagi Manji, tidak ada suara alternatif di luar itu
semua. Berbeda dengan kaum Yahudi refusenik, yang secara jujur menolak
tindakan kekerasan dan imperialisme yang dilakukan kaum Zionis, Irshad
Manji dalam atribut-atributnya sebagai reformis Islam, justru meniadakan
kenyataan faktual pendudukan Zionisme atas Palestina.
Terkait dengan penjajahan yang dialami bangsa Palestina, baik warga
Muslim maupun Kristen di sana, maka bagi Manji yang kerapkali datang ke
Israel, dengan bangganya mengutarkan bahwa dirinya tidak seperti kaum
penyelundup yang tidak memiliki hak-hak apa-apa. Di negeri Israel, ia
merasa seperti di rumah sendiri dan bertemu dengan keluarga mereka
sendiri. Ia merasakan betapa kebebasan berpendapat begitu dihargai di
Israel, dimana para intelektual memperdebatkan isu-isu publik yang
kontroversial secara terbuka di koran-koran.
Posisi Manji ini sungguh aneh bagi saya. Sebagai seorang reformer
Islam, yang menyebut dirinya sebagai Islam refusenik, sepertinya Manji
menempatkan konflik Israel-Palestina dalam kacamata keagamaan yang
harus ia reformasi. Dan dengan itu ia mengingkari prinsip-prinsip
kemerdekaan dalam humanisme universal untuk menolak penjajahan di atas
dunia. Hal ini membuatnya tidak bersimpati atas penindasan warga Muslim
dan Kristen Palestina di dalamnya. Di sini, Irshad Manji gagal melihat
persoalan Palestina dalam kacamata problem profan duniawi, yakni
sebagai problem penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya. Radar
sekularisme Irshad Manji gagal menangkap problem sekular imperialisme
Zionis Israel atas Palestina, sebagai problem kemanusiaan bersama.
Bagaimana perspektif Irshad Manji tentang persoalan-persoalan lain di
dunia Islam? Podur dalam review atas karya Manji, membawa kita pada
website tentang penderitaan perempuan-perempuan Afghanistan dalam
cengkeraman kekuasaan tirani yang didukung Uni Sovyet, dan cengkeraman
Taliban yang sebelumnya didukung Amerika Serikat. Irshad Manji
menampilkan foto-foto tentang perempuan bercadar yang menutup seluruh
tubuhnya, kecuali wajahnya. Bagi Manji potret tersebut adalah ikon
perempuan sebagai korban tradisi patriarkhi yang sangat kuat berakar
dalam Islam (memang kemudian Manji membedakan antara tradisi Islam dan
tradisi Arab komunal yang kemudian ditransmisikan menjadi tradisi
Islam). Tetapi, Manji sepenuhnya melupakan keberadaan sekelompok
lapisan perempuan terdidik yang terhimpun dalam Revolutionary
Association of Woman Afghanistan (RAWA), yang meneriakkan suara
pembebasan perempuan dengan mengajarkan membaca kepada komunitas
perempuan, anak-anak, dan
warga Afghanistan, mengajarkan kultur kritis dan bersuara tidak terhadap penindasan.
Mengapa Manji luput mengekpos gerak dan aktivitas mereka? Apakah ini
semata-mata akibat ketidakpahaman Manji terhadap situasi di
Afghanistan? Jawabannya, karena gerakan RAWA tidak saja menolak Taliban
tapi juga mengecam keras pemboman Amerika Serikat, maupun dominasi
imperium untuk menjarah kekayaan alam di Afghanistan, sebagai
praktek-praktek eksploitasi dan penindasan yang tak kalah bengisnya
dengan yang dilakukan oleh rezim Taliban. Sementara, posisi Irshad
Manji dalam karyanya, justru memberikan dukungan kepada invasi Amerika,
karena dianggapnya invasi tersebut telah membebaskan rakyat Afghanistan
dari tindasan rezim Taliban yang reaksioner. Pada sisi ini suara
reformasi Irshad Manji, adalah manifestasi rasa terima kasih dan
stempel bagi langkah-langkah global dari imperium dunia.
Analisis Irshad Manji yang secara tergopoh-gopoh melakukan kritik
terhadap tradisi Islam dan berdiri kagum memandang gemerlap Liberty,
menara Eiffel Amerika, bukanlah suara pembebasan multikulturalisme
demokratik. Suara Manji, bagi saya, adalah suara yang mengamini basis
pengandaian dari tesis The Clash of Civilization Samuel Huntington,
yang meyakini bahwa peradaban Islam adalah musuh dari peradaban modern
Barat, dan komunitas Islam membutuhkan kekuatan Barat untuk melepaskan
diri dari penjara kulturalnya. Suara Irshad Manji adalah suara kaum
Neo-Conservatif seperti George W Bush dan sekutunya, yang percaya
dengan invasi dan peperangan mereka memiliki misi suci untuk membawa
kebebasan bagi dunia Islam. Suara-suara seperti ini tidak memiliki
sensitivitas terhadap pergolakan internal di kalangan kaum
terpinggirkan yang berjuang, tidak saja melawan tirani feodalisme dan
kediktatoran militer, namun juga menghadang penetrasi kekuatan
transnasional untuk
menghisap bumi, air dan kekayaan alam di negeri-negeri mereka sendiri.
Dalam konteks seperti ini, menempatkan Irshad Manji dalam posisi
intelektual Islam reformis, sungguh salah kaprah. Manji tidak berada
pada barisan reformer Islam seperti Nawal el-Saadawi, Jamaluddin
Al-Afghani, Ali Shariati, maupun pejuang Nasrani Arab yang konsisten
menyerukan suara pembebasan, seperti Edward W. Said. Irshad Manji
adalah penguat dan amplifier dari suara imperium yang menyebar di dunia
Islam.
Namun demikian, dengan segala kritisisme ini, saya membela hak Manji
untuk berbicara dalam ruang publik Islam, sekaligus menentang tindakan
fasis seperti yang diperagakan FPI. Di atas meja intelektual itulah
kita bisa mengritik dan menunjukkan kelemahan teoritis, serta posisi
politiknya yang bias kepentingan imperialisme.***
University, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
MELALUI laman media sosial Facebook, saya mendengarkan berita
menyedihkan dari tanah air tentang terpasungnya kembali kemerdekaan
berekspresi di ruang publik intelektual kita. Tindakan a la fasisme ini
diperagakan kembali oleh segerombolan massa berjubah, baik yang
mengatasnamakan Laskar Umat Islam Solo (LUIS) maupun Front Pembela
Islam (FPI).
Di Jakarta, FPI yang dipimpin Rizieq Shihab, berhasil memaksakan
pendapatnya dan mendorong polisi untuk membubarkan sebuah diskusi buku
bersama intelektual-cum aktivis perempuan Muslim asal Kanada, Irshad
Manji. Manji, yang bukunya sedang didiskusikan di Komunitas Salihara
itu, memang sosok yang kontroversial, terutama berkaitan dengan posisi
pemikirannya atas homoseksualitas di dalam Islam, pentingnya
liberalisme pemikiran bagi komunitas Muslim, dan dukungan Manji atas
keutamaan peradaban Barat terhadap peradaban Islam.
Sebenarnya, kalau kita menyadari pentingnya suara-suara alternatif
dalam dinamika ruang publik Islam di tanah air maupun dunia Islam,
kehadiran pandangan seperti ini justru menguntungkan. Itu akan membuka
ruang bagi kita untuk mempertanyakan hal-hal yang telah dianggap
sebagai keniscayaan dalam gerak langkah peradaban Islam. Terkait dengan
hal ini, saya bersepakat dengan refleksi sastrawan Katholik Arab asal
Lebanon Amin Maalouf, dalam kumpulan esainya In The Name of Identity
((1998). Di sana Maalouf mengutarakan, secara sosial sudah saatnya
kita tidak hanya melihat kehidupan beragama dalam ruang sosial
semata-mata dalam konteks bagaimana agama mempengaruhi kehidupan
manusia, namun sebaliknya, bagaimana dialektika kehidupan sosial di
bumi manusia pada akhirnya ikut mempengaruhi gerakan dinamik agama dan
peradaban yang diinspirasikan oleh nilai-nilai agama itu sendiri. Dari
basis pijakan inilah, menurut hemat saya, kekuatan sebuah peradaban
yang di
dalamnya nilai-nilai agama memberi sumbangan penting diukur, bukan dari
seberapa kuat ia mengisolasi dan menolak pengaruh budaya atau
gagasan-gagasan lain di luar dirinya. Daya hidup sebuah peradaban besar
menjadi matang dan dewasa dengan memberi ruang yang luas, bahkan bagi
suara-suara di luar arus utama, untuk tetap hidup dan memberi
kontribusi bagi gerak vitalitas peradaban itu sendiri.
Demikian pula dengan peradaban Islam. Islam sebagai agama akan mandek
dan berhenti memberi kontribusi bagi dinamika peradaban manusia, ketika
ummatnya berpretensi menjadi pembela Islam dan pembela Tuhan dengan
membubarkan, melarang, membakar buku, dan mengejar-ngejar mereka yang
berpikiran bebas atau berpandangan berbeda dengan arus utama pemikiran
Islam. Sejarah Islam memberikan pelajaran bagi kita semua, seperti
diuraikan dengan brilyan oleh Sosiolog Spanyol Armando Salvatore dalam
The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism and Islam ((2007).
Salvatore mengatakan, ketika ruang publik begitu terbuka, dan kalangan
ilmuwan diberi kesempatan yang amat luas untuk mengembangkan ilmu dan
filsafat di masa Kekhalifahan Islam Andalusia, khasanah intelektual
Islam menjadi tulang punggung dan memberikan sumbangan yang sangat
menentukan bagi hadirnya masa pencerahan, era Aufklarung, dan terbitnya
fajar peradaban modern. Demikian pula dengan warisan
peradaban Islam pada dinasti Fathimiyah Syiah di Mesir, yang
menyumbangkan peradaban akademik dunia dengan universitas Al-Azhar dan
perpustakaan di Alexandria.
Saat ini dengan perdebatan, pena, dan menggerakkan tuts di laptop, kaum
Muslim membela demokrasi dan memberikan kontribusi penting bagi
peradabannya, bukan dengan pentungan, pedang dan golok untuk melawan
pikiran dan kebebasan. Itulah mengapa setiap tindakan fasis, kekerasan,
dan pembelengguan terhadap kemerdekaan berfikir harus kita lawan
sehebat-hebatnya dan sekuat-kuatnya.
Namun demikian, ketika secara panjang lebar saya membela kebebasan
dalam ruang publik dan tentunya membela hak dari Irshad Manji untuk
berbicara dalam ruang publik, tidak berarti saya membela dan mendukung
suara yang ditampilkannya tentang peradaban Islam dalam hubungannya
dengan Imperium. Tulisan ini bukanlah puja-puji dan dukungan terhadap
Manji, namun sebaliknya, saya akan memberikan tanggapan terhadap
kenaifan intelektual Manji dalam melihat komunikasi interkultural antar
peradaban. Ketika kita memahami bahwa bukan hanya agama yang memberi
kontribusi terhadap peradaban ummatnya, maka dalam konteks peradaban
Islam, kita tidak bisa membaca Islam hanya dari Islam itu sendiri,
maupun menggunakan pendekatan kultural yang terisoloasi dengan analisis
strukturalis, relasi kuasa dan ketegangan sosial yang turut
membentuknya.
Cheerleaders Imperium
Seperti diutarakan mendiang Fred Halliday dalam Nation and Religion in
the Middle East ((2000), ketika menjelaskan Timur Tengah dengan
segenap dinamikanya, pendekatan kultural bukanlah satu-satunya yang
mendeterminasi analisis untuk melihat Timur-Tengah. Pendekatan budaya
harus diletakkan dalam relasinya dengan konteks ketegangan relasi kuasa
di internal dan eksternal Timur Tengah, pertarungan kekuatan sosial dan
relasinya dengan tarikan pertarungan kekuatan sosial dominan dan
sublatern di tingkat global.
Pada hubungan-hubungan interaktif antara kesadaran kultural, ketegangan
sosial serta kontestasi kekuasaan di level global dan domestik, kita
dapat membongkar kenaifan berpikir Irshad Manji dan posisi politik yang
ia ambil dalam arus besar pergerakan imperium dunia. Sebagai seorang
yang lahir di Afrika Timur pada saat kepemimpinan diktator Idi Amin di
Uganda, Manji dan keluarganya berhasil keluar dan besar di Kanada,
dengan membawa trauma dan rasa berterima kasih yang begitu mendalam
terhadap kebebasan di dunia Barat yang membesarkan dirinya. Dalam karya
The Trouble With Islam Today (2003), misalnya, ia mengritik tradisi
yang berkembang dalam kebudayaan Islam dengan menempatkan posisinya
sebagai penganut Islam Refusenik. Kata-kata refusenik sendiri, menurut
Irhsad Manji, diambil dari sekumpulan karya kalangan terdidik Yahudi
yang bersikap kritis dan menolak pandangan-pandangan baku dan tradisi
lama dalam komunitas relijius Yahudi. Bagi Manji, sudah
saatnya ummat Islam melakukan reformasi intelektual dan melakukan kritik internal terhadap peradaban mereka.
Namun demikian, apakah Manji benar-benar menjadi penganut Islam
refusenik dan memahami bagaimana langkah dan pikiran kaum Yahudi
refusenik dalam membongkar kesadaran komunitas mereka?
Menurut Justin Podur (2003) dalam majalah Znet, ketika mereview karya
Manji, Manji ternyata tidak memahami bahwa adalah kaum Yahudi
refusenik, yang pada era perang Arab-Israel, menjadi kaum yang menyeru
kepada pemerintah Zionis untuk menarik tentaranya dari tanah
negara-negara Arab yang diinvasi pada tahun 1967. Tidak itu saja,
mereka juga menolak ikut serta dalam wajib militer (wamil) untuk
menyerang warga Arab di tanah pendudukan atas nama nilai-nilai
kemanusiaan. Mereka dengan teguh, sampai dipenjara, memperjuangkan
pikiran dan sikap politik mereka. Pada saat ini, kaum Yahudi refusenik
telah bertransformasi dan di kalangan intelektual Yahudi memunculkan
mazhab sejarah baru (new historian jewish) seperti Thomas Baylis,
sarjana Yahudi lulusan Yeshima University, yang pada 2009 menulis The
Dark Side of Zionism: Israel’s Quest for Security through Dominance. Di
buku ini, Baylish memberikan pengakuan getir, bahwa sebagai seorang
Yahudi adalah kenyataan
pahit untuk menuliskan betapa eksistensi dan keberadaan negara Israel
lahir dari penindasan, eksploitasi, dan penghancuran atas bangsa
lainnya.
Setelah membaca sekilas tentang identitas sejarah kaum Yahudi refusenik, mari kita melihat posisi Irshad Manji.
Dalam karyanya The Trouble With Islam, Manji menyerukan suara reformasi
Islam-nya dan surat terbuka kepada ummat Islam dan non-muslim. Ia
memulainya dengan memberikan pertanyaan retoris, ‘mengapa kita harus
selalu berhenti pada diskusi tentang Israel dan Palestina, mengapa
secara keras kepala kita menyerukan semangat Anti-Semit, siapakah
imperialis tulen Arab atau Amerika, mengapa kita ummat Islam selalu
menempatkan kaum perempuan sebagai warga kelas dua yang memiliki
setengah kesadaran intelektual sebagai manusia?’ Dari pembacaan atas
retorika Manji kita dapat menganalisis bahwa reformasi Islam Manji, ia
tempatkan pada relasi oposisi biner Islam melawan Barat dan Amerika
melawan Islam. Bagi Manji, tidak ada suara alternatif di luar itu
semua. Berbeda dengan kaum Yahudi refusenik, yang secara jujur menolak
tindakan kekerasan dan imperialisme yang dilakukan kaum Zionis, Irshad
Manji dalam atribut-atributnya sebagai reformis Islam, justru meniadakan
kenyataan faktual pendudukan Zionisme atas Palestina.
Terkait dengan penjajahan yang dialami bangsa Palestina, baik warga
Muslim maupun Kristen di sana, maka bagi Manji yang kerapkali datang ke
Israel, dengan bangganya mengutarkan bahwa dirinya tidak seperti kaum
penyelundup yang tidak memiliki hak-hak apa-apa. Di negeri Israel, ia
merasa seperti di rumah sendiri dan bertemu dengan keluarga mereka
sendiri. Ia merasakan betapa kebebasan berpendapat begitu dihargai di
Israel, dimana para intelektual memperdebatkan isu-isu publik yang
kontroversial secara terbuka di koran-koran.
Posisi Manji ini sungguh aneh bagi saya. Sebagai seorang reformer
Islam, yang menyebut dirinya sebagai Islam refusenik, sepertinya Manji
menempatkan konflik Israel-Palestina dalam kacamata keagamaan yang
harus ia reformasi. Dan dengan itu ia mengingkari prinsip-prinsip
kemerdekaan dalam humanisme universal untuk menolak penjajahan di atas
dunia. Hal ini membuatnya tidak bersimpati atas penindasan warga Muslim
dan Kristen Palestina di dalamnya. Di sini, Irshad Manji gagal melihat
persoalan Palestina dalam kacamata problem profan duniawi, yakni
sebagai problem penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya. Radar
sekularisme Irshad Manji gagal menangkap problem sekular imperialisme
Zionis Israel atas Palestina, sebagai problem kemanusiaan bersama.
Bagaimana perspektif Irshad Manji tentang persoalan-persoalan lain di
dunia Islam? Podur dalam review atas karya Manji, membawa kita pada
website tentang penderitaan perempuan-perempuan Afghanistan dalam
cengkeraman kekuasaan tirani yang didukung Uni Sovyet, dan cengkeraman
Taliban yang sebelumnya didukung Amerika Serikat. Irshad Manji
menampilkan foto-foto tentang perempuan bercadar yang menutup seluruh
tubuhnya, kecuali wajahnya. Bagi Manji potret tersebut adalah ikon
perempuan sebagai korban tradisi patriarkhi yang sangat kuat berakar
dalam Islam (memang kemudian Manji membedakan antara tradisi Islam dan
tradisi Arab komunal yang kemudian ditransmisikan menjadi tradisi
Islam). Tetapi, Manji sepenuhnya melupakan keberadaan sekelompok
lapisan perempuan terdidik yang terhimpun dalam Revolutionary
Association of Woman Afghanistan (RAWA), yang meneriakkan suara
pembebasan perempuan dengan mengajarkan membaca kepada komunitas
perempuan, anak-anak, dan
warga Afghanistan, mengajarkan kultur kritis dan bersuara tidak terhadap penindasan.
Mengapa Manji luput mengekpos gerak dan aktivitas mereka? Apakah ini
semata-mata akibat ketidakpahaman Manji terhadap situasi di
Afghanistan? Jawabannya, karena gerakan RAWA tidak saja menolak Taliban
tapi juga mengecam keras pemboman Amerika Serikat, maupun dominasi
imperium untuk menjarah kekayaan alam di Afghanistan, sebagai
praktek-praktek eksploitasi dan penindasan yang tak kalah bengisnya
dengan yang dilakukan oleh rezim Taliban. Sementara, posisi Irshad
Manji dalam karyanya, justru memberikan dukungan kepada invasi Amerika,
karena dianggapnya invasi tersebut telah membebaskan rakyat Afghanistan
dari tindasan rezim Taliban yang reaksioner. Pada sisi ini suara
reformasi Irshad Manji, adalah manifestasi rasa terima kasih dan
stempel bagi langkah-langkah global dari imperium dunia.
Analisis Irshad Manji yang secara tergopoh-gopoh melakukan kritik
terhadap tradisi Islam dan berdiri kagum memandang gemerlap Liberty,
menara Eiffel Amerika, bukanlah suara pembebasan multikulturalisme
demokratik. Suara Manji, bagi saya, adalah suara yang mengamini basis
pengandaian dari tesis The Clash of Civilization Samuel Huntington,
yang meyakini bahwa peradaban Islam adalah musuh dari peradaban modern
Barat, dan komunitas Islam membutuhkan kekuatan Barat untuk melepaskan
diri dari penjara kulturalnya. Suara Irshad Manji adalah suara kaum
Neo-Conservatif seperti George W Bush dan sekutunya, yang percaya
dengan invasi dan peperangan mereka memiliki misi suci untuk membawa
kebebasan bagi dunia Islam. Suara-suara seperti ini tidak memiliki
sensitivitas terhadap pergolakan internal di kalangan kaum
terpinggirkan yang berjuang, tidak saja melawan tirani feodalisme dan
kediktatoran militer, namun juga menghadang penetrasi kekuatan
transnasional untuk
menghisap bumi, air dan kekayaan alam di negeri-negeri mereka sendiri.
Dalam konteks seperti ini, menempatkan Irshad Manji dalam posisi
intelektual Islam reformis, sungguh salah kaprah. Manji tidak berada
pada barisan reformer Islam seperti Nawal el-Saadawi, Jamaluddin
Al-Afghani, Ali Shariati, maupun pejuang Nasrani Arab yang konsisten
menyerukan suara pembebasan, seperti Edward W. Said. Irshad Manji
adalah penguat dan amplifier dari suara imperium yang menyebar di dunia
Islam.
Namun demikian, dengan segala kritisisme ini, saya membela hak Manji
untuk berbicara dalam ruang publik Islam, sekaligus menentang tindakan
fasis seperti yang diperagakan FPI. Di atas meja intelektual itulah
kita bisa mengritik dan menunjukkan kelemahan teoritis, serta posisi
politiknya yang bias kepentingan imperialisme.***